JIWA PEMBERONTAK

Seseorang bisa bebas tanpa kebesaran,
tapi tidak seorangpun dapat besar tanpa kebebasan”
Jiwa-jiwa Pemberontak menghadiahkan pada kita makna besar akan cinta dan kehidupan. Dengan lihainya Kahlil mengaduk tatanan kata menjadi penyampaian sempurna terkait hakekat agama dan kekuasaan.
Dalam pengantar buku ini dituliskan,
Kedunguan telah mengubah ajaran suci Tuhan melalui para nabi menjadi belenggu umat beragama. Sejarah sering menjadi saksi, kekuasaan agama dan politik sering bahu membahu untuk membuat manusia menjadi dungu agar dapat dikuasai oleh ambisi-ambisi mereka.
Ada empat kisah hebat yang dirangkum dalam buku ini, Wardah Hani, Ranjang Pengantin, Jeritan dari Liang Kubur dan Khalil si Bocah Kufur. Keempat kisah tersebut mempertontonkan jiwa-jiwa suci yang menjerit dan memberontak dalam mencapai kebebasan belenggu jiwa.
Wardah Hani, mengisahkan tentang seorang perempuan cantik yang dengan cintanya meninggalkan sang suami, Rasyid Bin Nu’man (yang dengan besar hati mencintainya dengan segenap cinta) untuk hidup bersama dengan kekasih hatinya. Tidak hanya kekayaan, Wardah Hani yang menikah dengan lelaki yang 22 tahun lebih tua darinya itu, juga rela meninggalkan segala bentuk kenyamanan dan limpahan kasih sayang Rasyid. Jiwanya memberontak. Ia hanya ingin bebas lepas dari sangkar emasnya. Titel pengkhianat dan penzina yang ia terima, tak mejadikan hatinya lara. Saat jauh dari Rasyid, ia akhirnya bahagia.
Ranjang Pengantin, menceritakan tentang hiruk pikuk suasana pernikahan. Si mempelai wanita, Laila, yang sedang menjadi ratu pesta, menyimpan perih yang tergambar di mata seorang lelaki yang turut hadir dalam pesta tersebut. Dalam meriahnya angkasa, mata Laila terlihat redup dan murung, ada duka mendalam yang tak tertangkap mata ratusan tamu. Ketika sebagian besar dari mereka telah hilang kendali dalam pengaruh arak, Laila menyelinap dan mendapati lelakinya, Salim, tengah duduk menyendiri. Ia memaksa Salim untuk membawanya pergi, namun Salim menolaknya.
 Demi melihat pernikahan wanita yang ia cintai tak menemui rintangan, ia berbohong dan berkata bahwasanya cinta yang ia punya telah lama mati. Walau matanya tak sanggup menutupi dusta tersebut. Salim berusaha membuat wanitanya marah dengan diimingi-imingi oleh gosip percintaannya dengan perempuan lain. Si mempelai wanita kalap dan menghunuskan pisau ke dada Salim. Ia jatuh terkapar, bersimbah darah dan mengakui bahwa apa yang ia sampaikan sebelumnya adalah sebuah kebohongan besar. Kejadian tersebut menarik banyak mata, ratusan orang mengerubungi mereka. Setelah mengungkapkan rahasia hati dan kedunguannya karena telah merelakan dirinya menjadi korban dalam pernikahan tersebut, Laila menyusul Salim, menancapkan belati tersebut kedadanya dan ambruk seketika ke dalam pelukan Salim yang telah tergenangi oleh darah. Berdua, mereka menciptakan ranjang pengantin yang tak akan pernah terlupakan oleh semua orang.
Membaca kisah-kisah ini membuat saya kadang ingin menangis haru, tertawa mencerna kedunguan manusia yang dikendalikan oleh hasrat politik dan kekuasaan, bahkan tak jarang geram. Ingin rasanya berada di sana dan langsung menonjok muka si antagonis dengan kepalan tangan sendiri.  
Dibandingkan Sayap-sayap Patah, Jiwa-jiwa Pemberontak lebih sulit untuk dipahami, pada awalnya. Berkali-kali saya kembali ke halaman sebelumnya, membacanya sekali lagi, menilik lebih banyak lagi. Namun cerita yang dipaparkan meninggalkan tanda tanya besr dan tentu saja tidak akan membuat kita berhenti sebelum akhir.

Dua kisah lainnya?
Kamu harus baca sendiri buku ini. Haha. Selamat berburu dan mengeksekusi yaaaaa.
Salam!

0 Response to "JIWA PEMBERONTAK "

Posting Komentar