Kemiskinan menjadi permasalahan sosial. Pada masa
pemerintahan Islam, persoalan kemiskinan juga mengemuka. Tak hanya pemerintahan
yang bertanggung jawab menyele saikan masalah ini, baik melalui berbagai
program maupun lembaga sosial, kaum cendekia juga meresponsnya dengan ide-ide
pemecahan masalah kemiskinan.
Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, misalnya, kedudukan lembaga sosial diperkuat. Dengan itu, kemiskinan berhasil ditekan sekaligus menghadirkan kesejahteraan di tengah masyarakat Muslim. Asas keadilan di bidang ekonomi benar-benar ditegakkan. Masalah ini tidak luput dari perhatian para sarjana ekonomi Muslim abad pertengahan.
Kontribusi pemikiran mereka sangat berpengaruh. Diskusi dan kajian ilmiah mengenai kemiskinan dan bagaimana mengatasinya berlangsung intens. Para sarjana, ilmuwan, cendekiawan, dan juga ulama mengaitkan persoalan ini dengan aspek sosial, politik, budaya, hingga keagamaan.
Pada akhirnya, langkah itu membangkitkan motivasi serta kesadaran umat Islam terhadap tanggung jawab sosialnya. Abu Hamid al Ghazali (1058-1111), misalnya, memaparkan persoalan kemiskinan itu dalam bukunya yang berjudul al-Tabr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulk. Ia memetakan pula wilayah-wilayah miskin.
Ia menawarkan solusi kemiskinan dalam bukunya itu. Filsuf dan ilmuwan legendaris ini mengajukan teori distribusi pendapatan. Selain itu, al-Ghazali menekankan perlunya optimalisasi kesejahteraan sosial. Menurutnya, segala kebijakan ataupun program pembangunan harus diarahkan bagi tercapainya kemakmuran bersama.
Cendekiawan lainnya yang menghasilkan karya bertema sama adalah Ibnu Taghribirdi. Ia muncul dengan risalahnya al-Nujum al-Zahira fi Muluk Mishr wa ala Qahira dan al-Maqrizi dalam buku al-Mawa'iz wa al I'tibar fi Dzikr al-Khitat wa al-Athar. Menurut dia, kemiskinan merupakan fenomena sosial yang harus ditangani bersama.
Dari pandangan ilmuwan Barat, yaitu Mine Ener dan Michael Bonner, tradisi berbagi telah dipraktikkan sejak awal Islam. "Namun, semakin menemukan pijakan dan lebih terlembaga pada era kejayaan," papar keduanya dalam buku Poverty and Charity in Middle Eastern Context.
Ener dan Bonner menambahkan, umat Islam melakukan berbagai terobosan dan membuat pengembangan program pengentasan kemiskinan makin variatif. Badan zakat, amal, atau takaful bermunculan bak jamur pada musim hujan di wilayah-wilayah Islam. Dana yang terkumpul dari masyarakat kemudian digunakan untuk kepentingan sosial keagamaan. Salah satunya adalah membangun berbagai sarana, seperti rumah sakit, pendidikan, panti asuhan, masjid, rumah penampungan, dan lainnya. Semua fasilitas itu ditujukan untuk memberikan pelayanan sebaikbaiknya kepada masyarakat tidak berpunya. Lembaga filantropis dan wakaf juga berkembang pesat. Ini telah diawali sejak Dinasti Umayyah.
Tamim Ansyari menceritakan melalui bukunya, Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam, lembaga wakaf yang difasilitasi negara secara aktif menyalurkan bantuan kepada orang-orang miskin. "Badan wakaf bisa dikatakan sebagai perusahaan nirlaba versi Muslim yang didirikan untuk tujuan amal," katanya.
Ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa, umat Islam mencapai
peradaban gemi lang. Perdagangan, pertanian, hingga ilmu pengetahuan tumbuh
pesat. Kondisi itu mendorong terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran. Namun,
ada kenyataan pula bahwa masih terdapat warga yang hidup dalam kondisi
serbasulit.
Khalifah Abbasiyah keempat, Harun alRasyid, dikenal
sebagai sosok yang memiliki kepedulian sosial tinggi. Sifat kedermawanan nya
telah melegenda. Dengan menyamarkan diri sebagai pengemis atau rakyat jelata,
Harun al Rasyid berjalan di pasar-pasar atau perkampungan untuk mendengar langsung
masalah rakyatnya.
Setelah itu, ia mengambil kebijakan untuk membantu mereka. Di sisi lain, peran pemerintah sangat dibutuhkan agar pengentasan kemiskinan efektif. Ini pun berlangsung selama periode pemerintahan Dinasti Mamluk (1250-1517).
Adam Sabra mengisahkannya dalam buku Poverty and Charity in Medieval Islam: Mamluk Egypt. Sabra menuturkan, karena dilengkapi dengan perangkat-perangkat kekuasaan, program tersebut berjalan di seluruh negeri. Saat itu, pegawai pemerintah tak hanya bertugas mengumpulkan pajak, tetapi juga zakat, wakaf, dan amal serta mendistribusikannya.
Mereka menggandeng lembaga amil ataupun para tokoh agama dan masyarakat lokal. Dengan jalinan kerja sama seperti itu, penyaluran bantuan bagi rakyat miskin menjadi lebih tepat sasaran. Sabra menggambarkan pemerintahan Mamluk terlibat langsung untuk membantu kaum miskin.
Para pengemis dan tunawisma dilindungi di panti-panti sosial yang biasa disebut mawdi al hukm. Mereka tak lagi terlunta-lunta di jalanan Kairo. Sedangkan, mereka yang mengalami kesulitan membayar utang-utangnya diberi bantuan melunasinya. Peran negara dalam pengentasan kemiskinan juga diungkapkan oleh Mine Ener.
Melalui buku berjudul Religious Prerogatives and Policy of the Poor, Mine Ener mengatakan, pemerintahan Islam meneruskan inisiatif pengembangan proyek-proyek pengentasan kemiskinan serta pembinaan dan pemberdayaan rakyat. Sebagian hasil pajak diarahkan untuk bidang sosial, termasuk membuka dapur-dapur umum.
Keberadaan sarana ini amat dibutuhkan kaum miskin saat mereka mengalami gagal panen atau stok bahan makanan menipis. Adam Sabra mencatat, kondisi tersebut pernah terjadi antara abad ke-13 dan ke-16. Negara secara aktif turun tangan mengatur distribusi bahan makanan dan juga mengendalikan harga. Langkah tersebut efektif untuk melindungi warga miskin dari bahaya kelaparan
Setelah itu, ia mengambil kebijakan untuk membantu mereka. Di sisi lain, peran pemerintah sangat dibutuhkan agar pengentasan kemiskinan efektif. Ini pun berlangsung selama periode pemerintahan Dinasti Mamluk (1250-1517).
Adam Sabra mengisahkannya dalam buku Poverty and Charity in Medieval Islam: Mamluk Egypt. Sabra menuturkan, karena dilengkapi dengan perangkat-perangkat kekuasaan, program tersebut berjalan di seluruh negeri. Saat itu, pegawai pemerintah tak hanya bertugas mengumpulkan pajak, tetapi juga zakat, wakaf, dan amal serta mendistribusikannya.
Mereka menggandeng lembaga amil ataupun para tokoh agama dan masyarakat lokal. Dengan jalinan kerja sama seperti itu, penyaluran bantuan bagi rakyat miskin menjadi lebih tepat sasaran. Sabra menggambarkan pemerintahan Mamluk terlibat langsung untuk membantu kaum miskin.
Para pengemis dan tunawisma dilindungi di panti-panti sosial yang biasa disebut mawdi al hukm. Mereka tak lagi terlunta-lunta di jalanan Kairo. Sedangkan, mereka yang mengalami kesulitan membayar utang-utangnya diberi bantuan melunasinya. Peran negara dalam pengentasan kemiskinan juga diungkapkan oleh Mine Ener.
Melalui buku berjudul Religious Prerogatives and Policy of the Poor, Mine Ener mengatakan, pemerintahan Islam meneruskan inisiatif pengembangan proyek-proyek pengentasan kemiskinan serta pembinaan dan pemberdayaan rakyat. Sebagian hasil pajak diarahkan untuk bidang sosial, termasuk membuka dapur-dapur umum.
Keberadaan sarana ini amat dibutuhkan kaum miskin saat mereka mengalami gagal panen atau stok bahan makanan menipis. Adam Sabra mencatat, kondisi tersebut pernah terjadi antara abad ke-13 dan ke-16. Negara secara aktif turun tangan mengatur distribusi bahan makanan dan juga mengendalikan harga. Langkah tersebut efektif untuk melindungi warga miskin dari bahaya kelaparan
PERDAGANGAN (TRAFFICKING) ANAK DAN PEREMPUAN
Pendahuluan
Setiap hari, jutaan anak dan perempuan di seluruh dunia rentan
berhadapan dengan bahaya. Setiap hari, jutaan anak dan perempuan menderita
akibat kemiskinan dan krisis ekonomi. Beratus juta anak dan perempuan menderita
dan mati karena perang, kekerasan, eksploitasi, ditelantarkan serta berbagai
bentuk penganiayaan dan diskriminasi. Di seluruh dunia, anak dan perempuan
hidup dalam keadaan yang teramat sulit, menjadi cacat permanen atau cedera
parah oleh konflik bersenjata, mereka juga terusir di dalam negeri atau terusir
dari negerinya sebagai pengungsi, menderita akibat bencana alam dan bencana
buatan manusia, termasuk bahaya terkena radiasi dan bahan kimia berbahaya.
Perdagangan, penyelundupan, eksploitasi fisik dan seksual dan juga penculikan,
eksploitasi ekonomis, bahkan dalam bentuk yang buruk sekalipun, merupakan
kenyataan sehari-hari bagi anak dan perempuan, sedangkan kekerasan domestik dan
kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan merupakan masalah serius. Puluhan
ribu anak dan perempuan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun, berkeliaran
siang dan malam sebagai komoditas seks, baik ke pasar seks domestik maupun
manca negara. Lembaga internasional meramalkan, Indonesia akan segera menjadi
tujuan para pelancong seks dari luar negeri.
Trafficking (Perdagangan) Anak dan Perempuan
Pengertian
Krisis moneter berkepanjangan dan lesunya perekonomian menyebabkan
banyak keluarga kehilangan sumber pendapatannnya dalam kondisi ini, pelacuran
dianggap memberi kesempatan yang lebih baik kepada anak dan perempuan
mendapatkan uang. Banyak anak dan perempuan dari desa yang mau meninggalkan
kampung halamannya karena tergiur oleh janji-janji yang diberikan oleh para trafficker (orang yang
memperdagangkan) untuk bekerja di kota dengan gaji yang besar, tetapi
sesampainya di kota, diperdaya atau dipaksa untuk menjadi pekerja seks.
Trafficking adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan
terhadap anak, yang menyangkut kekerasan fisik, mental dan atau seksual. Trafficking merupakan
perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang
dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaaan lainnya,
penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
ataupun memberi atau menerima bayaran atau manfaat, untuk tujuan eksploitasi seksual,
perbudakan atau praktik-praktik lain, pengambilan organ tubuh.
Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa proses trafficking adalah perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penampungan (penyekapan), penerimaan. Trafficking dilakukan dengan
cara: ancaman, kekerasan, paksaan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan
wewenang. Tujuan dilakukan trafficking adalah untuk: transplantasi organ tubuh,
penyalahgunaan obat, perdagangan anak lintas batas, pornografi, seksual
komersil, perbudakan/penghambaan dan lain-lain. Secara umum, faktor-faktor yang
mendorong terjadinya trafficking anak adalah kemiskinan, terbatasnya kesempatan
kerja, konflik sosial, lemahnya penegakan hukum, rendahnya pendidikan dan
kesehatan, kekerasan dalam rumah tangga, desakan ekonomi.
Perdagangan orang (trafficking in person) dapat diartikan sebagai
rekruitmen, transportasi, pemindahan, penyembunyiaan atau penerimaan seseorang,
dengan anacaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain,
penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga
mmemperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut
untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuik eksploitasi lewat prostitusi
atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktik-praktik yang menyrupainya, adopsi illegal atau
pengambilan organ-organ tubuh. Perdagangan orang (trafficking in persons) merupakan kejahatan
yang keji terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), yang mengabaikan hak seseorang
untuk hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan lainnya. Anak dan perempuan adalah
yang paling banyak menjadi korban perdagangan orang (trafficking in persons), menempatkan mereka
pada posisi yang sangat berisiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya
baik fisik maupun mental spritual, dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan,
kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS.
Kondisi anak dan perempuan yang seperti itu akan mengancam kualitas ibu bangsa
dan generasi penerus bangsa Indonesia.
Kelompok rentan perdagangan (trafficking) untuk menjadi korban adalah
orang-orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya
berada dalam kondisi rentan, seperti laki-laki, perempuan dan anak-anak dari
keluarga miskin yang berasal dari pedesaan atau daerah kumuh perkotaan; mereka
yang berpendidikan dan berpengetahuan terbatas; yang terlibat masalah ekonomi,
politik dan sosial yang serius; anggota keluarga yang mengalami krisis ekonomi
seperti hilangnya pendapatan suai/orangtua, suai/orang tua sakit keras, atau
meninggal dunia; putus sekolah; korban kekerasan fisik, psikis, seksual; para
pencari kerja (termasuk buruh migran); perempuan dan anak jalanan; korban
penculikan; janda cerai akibat pernikahan dini; mereka yang mendapat tekanan
dari orang tua atau lingkungannya untuk bekerja; bahkan pekerja seks yang menganggap
bahwa bekerja di luar negeri menjanjikan pendapatan lebih.
Pelaku
Pelaku dalam perdagangan (trafficking) anak dan perempuan dapat
dibedakan dalam 3 (tiga) unsur. Pembedaan dilakukan berdasarkan peranannya
masing-masing dalam tindakan perdagangan (trafficking):
1. Pihak yang berperan
pada awal perdagangan;
2. Pihak yang
menyediakan atau menjual orang yang diperdagangkan;
3. Pihak yang berperan
pada akhir rantai perdagangan sebagai penerima/pembeli orang yang
diperdagangkan atau sebagai pihak yang menahan korban untuk dipekerjakan secara
paksa dan yang mendapatkan keuntungan dari kerja itu.
Modus Operandi Modus operandi sindikat perdagangan
perempuan dilakukan dengan bererapa cara, yaitu:
1. Dengan ancaman dan pemaksaan, biasanya dilakukan
oleh trafficker yang telah dikenal dekat
dengan pelaku. Dalam hal tersebut pelaku menggunakan kedekatannya dan
kedudukannya yang lebih superioritas dibanding korban, sehingga membuat korban
berada dalam tekanan dan kedudukan tersubordinasi. Hal tersebut membuat korban tidak
dapat menolak keinginan pelaku.
2. Penculikan; biasanya korban diculik secara paksa atau
melalui hipnotis melalui anggota sindikat. Tak jarang juga korban diperkosa
terlebih dahulu oleh anggota sindikat sehingga menjadi semakin tidak berdaya.
3. Penipuan, kecurangan atau kebohongan; Modus tersebut
merupakan modus yang paling sering dilakukan oleh sindikat trafficking. Korban ditipu oleh
anggota sindikat yang biasanya mengaku sebagai pencari tenaga kerja dengan
menjanjikan gaji dan fasilitas yang menyenangkan sehingga korban tertarik untuk
mengikuti tanpa mengetahui kondisi kerja yang akan dijalaninya.
4. Penyalahgunaan Kekuasaan; Dalam perdagangan
perempuan banyak aparat yang menyelahgunakan kekuasaannnya untuk membecking
sindikat perdagangan perempuan. Pemalsuan identitas kerap kali dilakukan oleh
aparat pemerintah yang berhubungan langsung dengan pengurusan data diri.
Seperti pemalsuan KTP dan akta kelahiran. Di bagian imigrasi juga sering
terjadi kolusi antara pelaku dengan pegawai imigrasi sehingga perdagangan
perempuan yang ditujukan ke luar negeri dapat melewati batas negara dengan
aman.
Modus operandi rekrutmen terhadap kelompok rentan biasanya dengan
rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu,
menjebak, mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang,
mengawini atau memacari, menculik, menyekap atau memerkosa. Modus lain berkedok
mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau
bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. Ibu-ibu hamil yang kesulitan
biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan hutang
supaya anaknya boleh diadopsin agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian
dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia
melayani para pedofil dengan memberikan barang-barang keperluan mereka bahkan
janji untuk disekolahkan.
Pengaturan dalam KUHP
Perangkat hukum nasional di Indonesia masih tidak memadai untuk
menghadapi suatu persoalan yang sebesar dan penuh kompleksitas sebagaimana masalah
perdagangan anak dan perempuan. Sampai saat ini kasus-kasus perdagangan
perempuan ditangani dalam 3 pasal, yaitu: Pasal 296 KUHP menentukan bahwa
barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja atau
memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain di hukum penjara selama-lamanya 1
tahun 4 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000; Pasal 297 KUHP
menentukan bahwa memperniagakan laki-laki yang belum dewasa dihukum
selama-lamanya 6 tahun”; Pasal 298 KUHP menentukan bahwa pada waktu menjatuhkan
hukuman karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 281, 284 -290
dan 292-297, maka dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak-hat tertentu. Kalau
si tersalah melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 292-297
dalam melakukan pekerjaannya, dapat ia dipecat dari pekerjaannya itu.
Namun ketiga Pasal tersebut diatas cenderung tidak mampu menjerat para
pelaku perdagangan perempuan dalam segenap keanekaragaman bentuknya, karena
Pasal-pasal ini hanya mencakup perdagangan perempuan untuk tujuan eksploitasi
perempuan dan penjabaran unsur-unsur tentang perdagangan perempuan itupun penuh
dengan kerancuan. Kesulitan lain berkaitan dengan pengkategorisasian
perdagangan perempuan sebagai ”Kejahatan terhadap kesusilaan” dalam KUHP, hal
ini sangat semput hika dibandingkan dengan keluasan dan kompleksitas persoalan
bagaimana terungkap pada defenisi internasional tentang perdagangan manusia,
khususnya perempuan dan anak-anak dan kasus-kasus perdagangan manusia di
Indonesia.
Penutup
Perlindungan terhadap anak dan perempuan dari trafficking (perdagangan) masih belum
dilakukan secara maksimal. Perangkat perundang-undangan yang mengatur
perlindungan hak-hak anak ini juga masih sangat minim, dan walaupun telah ada
beberapa undang-undang yang mengatur perlindungan hak-hak anak ini, masih
kurang tersosialisasi secara baik. Keseriusan aparat penegak hukum untuk
menganggulangi, masih sangat lambat dan putusan yang dihasilkan masih tidak
memenuhi rasa keadilan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan dari tindakan trafficking (perdagangan) antara
lain adalah hendaknya aparat Kepolisian, Penuntut Umum, dan Hakim Pengadilan,
konsisten dalam menangani kasus trafficking (perdagangan) anak dan perempuan,
dengan memberikan prioritas penangan dan menghukum terdakwa dengan hukuman yang
setimpal sesuai dengan perbuatannya.
Sumber: Dr. Maidin Gultom, SH, M.Hum
00000000000
Sosialisasi Anti Perdagangan Manusia
Warga Indonesia masih terlalu sering
menjadi korban perdagangan manusia. Kebanyakan korban berpendidikan rendah,
yaitu tamatan SD atau bahkan sama sekali tidak tamat. Karena itulah mereka
sangat rentan menjadi korban perdagangan manusia.
Isu perdagangan manusia atau trafficking khususnya perempuan
dan anak beberapa bulan terakhir cukup mendapat soroton di berbagai media
massa. Media massa tidak hanya sekedar menyoroti kasus-kasus tersebut saja akan
tetapi juga lika- liku tindakan penyelamatan yang dilakukan aparat penegak
hukum terhadap korban serta bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi
permasalahan tersebut.
Di jelaskan dalam UU Nomor 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, bahwa yang disebut trafficking
atau perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara, untuk
tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Untuk memudahkan, berikut adalah gambaran sederhana bagaimana
seseorang dikatakan sebagai pelaku kejahatan Tindak Pidana perdagangan orang
dengan 3 (tiga) unsur utama sebagai berikut
Proses: Pertama, biasanya pelaku memindahkan korban
jauh dari komunitasnya dengan merekrut, mengangkut, mengirim, memindahkan atau
menerima mereka;
Cara: Lalu pelaku menggunakan ancaman, kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan / posisi rentan,
atau jeratan hutang untuk mendapat kendali atas diri korban sehingga dapat
memaksa mereka;
Tujuan: Pada akhirnya, pelaku mengeksploitasi atau
menyebabkan korban tereksploitasi untuk keuntungan financial pelaku kejahatan .
Eksploitasi di sini bisa berupa perlakukan apapun yang tidak sesuai dengan
kehendak korban dan korban menderita karena perlakuan tersebut seperti bekerja
sebagai pelacur, kerja paksa/perbudakan, atau bekerja serupa perbudakan,
termasuk juga pengambilan organ tubuh.
Dalam hal korban berusia 18 tahun atau lebih, suatu
kasus harus memiliki salah satu unsur yang terdapat pada setiap kolom
agar suatu tindak pidana dapat disebut sebagai perdagangan orang menurut
hukum di Indonesia.
Namun jika korbannya berusia kurang dari 18 tahun,
suatu kasus sudah dapat disebut sebagai perdagangan orang jika sudah memenuhi
salah satu unsur yang terdapat pada item pertama (proses) dan item ketiga
(tujuan). Adapun unsur-unsur di dalam item kedua (cara) tidak diperlukan.
Hal lain yang harus menjadi perhatian kita, khususnya para penegak hukum adalah
bahwa persetujuan korban, sekalipun korbannya adalah orang dewasa, tidak
menjadi unsur yang meringankan dari tuntutan hukuman apalagi pelakunya sampai
dibebaskan dari tuntutan hukuman.
Human Trafficking merupakan
industri kedua didunia yang mengalami perkembangan yang demikian pesat dan juga
merupakan industri ilegal ketiga yang menghasilkan keuntungan yang paling
besar.
Ilustrasi
|
Trafficking disebabkan oleh beberapa hal yang terdiri
dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda antara lain :
rendahnya tingkat pendidikan, status sosial, kemiskinan (misalnya orang tua
memiliki hutang dan harus membayar dengan tenaganya tanpa memberi upah),
kurangnya wawasan, kurang memahami ajaran agama, dll.
Sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan manusia
pada umumnya adalah perempuan , selain mereka antara lain:
1.
Anak-anak jalanan
2.
Orang yang sedang
mencari pekerjaan dan tidak mempunyai pengetahuan informasi yang benar mengenai
pekerjaan yang akan dipilih
3.
Perempuan dan anak
di daerah konflik dan yang menjadi pengungsi
4.
Perempuan dan anak
miskin di kota atau pedesaan
5.
Perempuan dan anak
yang berada di wilayah perbatasan antar negara
6.
Perempuan dan anak
yang keluarganya terjerat hutang
7.
Perempuan korban
kekerasan dalam rumah tangga, korban pemerkosaan
8.
Pelaku biasanya
memberikan janji janji yang menggiurkan sehingga korban mudah terpancing dengan
janji tersebut.
1.
Trafficking adalah
sebuah bentuk perbudakan
2.
Trafficking adalah
kejahatan yang dilakukan di seluruh dunia termasuk Indonesia
3.
Dari kasus-kasus
yang di Indonesia diketahui bahwa ribuan hingga jutaan orang indonesia rentan
terhadap trafficking
4.
Pelaku trafficking
menjadikan orang ingin bermigrasi baik di daerah lain di Indonesia maupun ke
luar negeri sebagai mangsa mereka
5.
Hukum kurang
efektif mendefinisikan traficking, untuk membuat jera pelaku ataupun untuk
melindungi korban.
PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK
Dengan semakin kompleksnya masalah
perdagangan manusia khususnya perdagangan perempuan dan anak,
maka kiranya diperlukan sebuah upaya menggalang kerja sama
melalui kemitraan yang menjadi satu-satunya cara yang harus dikembangkan di
masa datang supaya penanganan masalah ini menjadi lebih efektif. Mengatasi
permasalahan perdagangan anak tidak hanya melibatkan satu lembaga, akan tetapi
harus melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada di masyarakat, yaitu
instansi-instansi pemerintah, LSM, organisasi kemasyarakatan yang tergabung
dalam sebuah kemitraan yang diperkuat oleh peraturan pemerintah,
paling tidak keputusan menteri untuk bersama-sama
menangani masalah perdagangan anak.
Memang benar bahwa orang tua dapat meminimalisir
dampak buruk dari berbagai media informasi dengan memberikan pemahaman kepada
anak-anaknya, namun tanpa regulasi dari negara yang jelas terhadap media
tersebut, pada akhirnya hal ini hanya akan memindahkan beban kepada para orang
tua, sementara media itu sendiri nampaknya tidak peduli akan dampak buruk yang
ditimbulkannya.
Perempuan termasuk remaja putri adalah target utama
dunia advertorial. Akibatnya, media tidak menampilkan kebutuhan kaum perempuan,
namun justru kebutuhan para pengiklan.
Di tengah maraknya kasus ekspolitasi seksual,
pedofilia, kasus kekerasan dan perdagangan perempuan dan anak (trafficking),
ditambah lagi dengan pendidikan seks yang kurang memadai, media seharusnya
memberikan pendidikan agar remaja perempuan semakin mengenal hak-haknya.
Hak-hak remaja putri yang seharusnya dipahami oleh
media antara lain adalah mendapatkan informasi yang benar, hak untuk
meningkatkan rasa kepercayaan diri, bebas dari diskriminasi, terlindung dari
pelecehan, kekerasan dan eksploitasi seksual, mendapatkan pendidikan yang
layak, hak untuk mengakses dan mendapatkan informasi yang seluas-luasnya
tentang kesehatan reproduksinya serta bebas dari ancaman praktek perdagangan
manusia, pornografi, narkoba, dan sebagainya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak menduga pelaku perdagangan orang mulai menggunakan media sosial sebagai
modus baru dalam menjaring korban. Para pelaku juga semakin canggih dan
mempunyai jaringan yang kuat.
"Saat ini para pelaku perdagangan orang mencari
korban melalui media sosial seperti facebook, twitter dan lain
sebagainya," kata Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Sri Danti usai acara koordinasipelaksanaan
Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Orang di Jakarta
Dia menambahkan, pelaku semakin canggih dan
jaringannya terus menguat. Menurut data Bareskrim
Mabes Polri, dari tahun 2009 sampai 2011 telah terjadi 373 kasus perdagangan
orang dengan korban 440 orang dewasa dan 192 orang anak, serta penangkapan
terhadap 450 orang pelaku.
Masyarakat sendiri juga lupa bahwa mereka harus turut
melindungi kepentingan dan hak-hak remaja perempuan dari derasnya pesan media
yang masuk.Orangtua diminta mengawasi
anak-anaknya yang kecanduan Facebook (FB), Twitter, Blackberry Messenger (BBM),
SMS, dll.
Beberapa hal yang bisa diterapkan antara lain dengan
membatasi jam menonton televisi, memonitor media apa saja yang dikonsumsi,
mulai dari majalah, video, dan internet. Memberikan penjelasan yang mereka butuhkan,
menanyakan perasaan mereka setelah menyaksikan atau membaca, membantu mereka
agar mampu membedakan antara yang fiktif dan yang riil hingga mereka pun paham
bahwa dalam dunia nyata, setiap kekerasan, pelecehan seksual, perdagangan
manusia, dan sebagainya ada konsekuensinya, yakni hukum.
Ternyata penegak hukum lebih kerap memakai Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memiliki beberapa kelemahan. Untuk itu
perlu mengamandemen peraturan perundangan yang bertentangan dengan hak anak
disertai peraturan dan hukum yang terkait antarnegara.
Kedua, memberi
pemerataan akses pelayanan pendidikan, kesehatan, hukum, dan transportasi
kepada seluruh anak Indonesia.
Ketiga, orangtua
dan masyarakat juga harus mendapat pengetahuan dan pemahaman tentang HAM.
Pencegahan dan intervensi dini di tingkat keluarga dan komunitas dapat
mengurangi risiko remaja menjadi korban perdagangan dan eksploitasi seks.
Keempat, otonomi
daerah hendaknya mampu mendorong pemerintah daerah membuka kesempatan kerja,
terutama di pedesaan, dalam upaya memperbaiki ekonomi keluarga.
Kelima, diperlukan koordinasi dan membangun sistem jaringan antara pemerintah pusat-daerah, swasta, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat, baik lokal, bilateral, maupun multilateral, terutama pengawasan terhadap agen yang merekrut tenaga kerja.
Kelima, diperlukan koordinasi dan membangun sistem jaringan antara pemerintah pusat-daerah, swasta, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat, baik lokal, bilateral, maupun multilateral, terutama pengawasan terhadap agen yang merekrut tenaga kerja.
Terakhir, perguruan
tinggi sebagai pusat advokasi, sosialisasi, dan rujukan tentang perlindungan
dan kesejahteraan perempuan dan anak perlu lebih berperan dalam meredefinisi
dan merekonstruksi pandangan menghakimi pada korban eksploitasi seksual pada
anak.
Sosialisasi di
Kalangan Remaja
Masa remaja yang rentan dengan usaha coba-coba
seringkali menimbulkan dampak massif yang tidak kita inginkan bersama. Komisi
Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) dalam rentang bulan Januari dan
Februari, melalui Layanan Perlindungan Anak mengakui bahwa setidaknya terdapat
36 pengaduan remaja putri tingkatan sekolah menengah pertama atas ‘hilang’ nya
mereka sementara waktu akibat dibawa oleh teman facebook-nya. Kebanyakan
diantara mereka mengalami pelecehan seksual. Kejahatan seksual yang
terorganisir dengan apik ini masih sangat meresahkan hingga kini.
Remaja, khususnya perempuan dengan perilaku seks
menyimpang, rentan menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking).
Penyimpangan tersebut biasanya dimanfaatkan pelaku trafficking untuk mendekati
korbannya.
‘Jangan menceritakan segalanya.
Berfikirlah sebelum menulis di Facebook….’
David Gewirtz.
David Gewirtz.
Modus operandi perdagangan manusia
(human trafficking) kini semakin beragam. Trafficking berkedok pencarian duta
seni dan budaya untuk dikirimkan ke sejumlah negara dengan sasaran siswa
lulusan SMP dan SMA pun muncul dan mulai meresahkan masyarakat.
“ Para pelaku kejahatan perdagangan
manusia (trafficking) mulai mengincar mahasiswi dan pelajar putri sebagai
komoditas yang bisa diperjualbelikan….” Demikian hal itu diungkapkan Ketua
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Netty
Heryawan kepada wartawan, usai rapat koordinasi terkait penanganan anak
jalanan, di Dinas Sosial Jabar
Gaya hidup konsumtif yang kini banyak dijalani kaum
terdidik seperti halnya mahasiswi dan pelajar putri, menjadi salah satu celah
yang dimanfaatkan pelaku kejahatan trafficking. Kebutuhan untuk memenuhi gaya
hidup yang konsumtif membuat kaum terdidik tidak lagi berpikir analitis ketika
ditawari pekerjaan dengan penghasilan yang besar. Padahal pekerjaan yang
ditawarkan itu mengarah pada kegiatan jual beli manusia.
"Saat ini sudah terjadi
pergeseran nilai, di mana trafficking tidak lagi terjadi karena desakan motif
ekonomi lemah, tapi juga karena kebutuhan untuk memenuhi gaya hidupnya yang
konsumtif. Sehingga, saat ini tidak sedikit mahasiswi dan pelajar yang menjadi
korban trafficking," papar Netty.
Disebutkannya, sebagian besar korban trafficking
berusia antara 14 hingga 20 tahun. Bahkan pernah ada korban yang masih berusia
12 tahun.
"Selain mengincar korban di kawasan pendidikan,
para pelaku juga banyak memperoleh korban dari pemukiman padat penduduk dan
daerah pinggiran seperti Garut dan Sukabumi," katanya
Dari tahun ke tahun kejahatan trafficking menunjukkan
peningkatan. Hal itu terlihat wajar karena secara ekonomi trafficking memang
sangat menguntungkan. Bisnis perdagangan manusia komoditasnya tidak pernah
habis, ditambah regulasi hukum yang tidak mampu memberikan efek jera membuat
trafficking terus ada. Padahal UU No. 21/2007 telah menyebutkan bahwa dengan
jelas pelaku trafficking seharusnya dipailitkan atau dibuat miskin.
"Hingga awal 2012, sedikitnya kami telah
menangani 233 kasus trafficking yang berhasil diungkap. Setelah berhasil
diselamatkan, korban diberikan keterampilan dan konseling hukum. Karena tidak
sedikit korban trafficking yang sadar jika dirinya menjadi korban
kejahatan," katanya.
Hal tersulit dalam penangangan korban trafficking
adalah bagaimana caranya menjaga agar korban tidak terjerumus kembali.
Berdasarkan pengalaman, tidak sedikit korban trafficking yang kembali
terjerumus karena alasan ekonomi.
"Mereka yang kembali umumnya terimpit kondisi
ekonomi. Rata-rata korban trafficking sudah pernah menikah dan memiliki anak,
serta hidup pada kelas prasejahtera dan sejahtera. Mencari uang untuk
menghidupi anak dijadikan alasannya," tegas Netty.
Banyak siswa perempuan terlibat
jaringan terlarang
Sasaran perdagangan manusia kini semakin bergeser
membidik usia remaja lulusan SMP/SMA, kerjasama dan koordinasai antar elemen
masyarakat khususnya masyarakat pendidikan ( Dinas pendidikan dan sekolah )
untuk melakukan upaya pencegahan adalah salah satu cara dan upaya untuk
“membentengi “ para pelajar dari bahaya ini, misalnya dengan dengan memberikan
pelatihan dan pendampingan bagi guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah atau
juga kepada para lulusan.
"Setiap yang kita jemput, yang
usianya di bawah umur selalu ada, ya ada 2 orang dari 10-13 orang yang kita
jemput. Kadang mereka dijual oleh kakaknya. Kakaknya bekerja di sana, adiknya
tergiur sehingga ikut. Jadi memang banyak faktor yang menjadi penentu, bisa
faktor ekonomi, pendidikan, peran orang tua, pergeseran nilai, arus informasi
yang begitu deras, serta dampak urbanisasi,"
"Di sebuah lokalisasi di Bangka
Belitung misalnya, dari 200 pekerja yang ada di sana, 75 persennya adalah orang
Jawa Barat. Tadinya kita menganggap Indramayu atau Cirebon sebagai daerah asal
terbanyak, tapi ternyata sekarang menyebar. Bahkan Bandung Raya, seperti KBB,
Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan juga Cimahi sama. Umurnya berkisar 20-30an,
selain juga yang dibawah umur,"
Bentuk-bentuk trafficking memang semakin berkembang
dan menggiurkan. Termasuk diantaranya melalui lowongan pekerjaan untuk menjadi
penari tradisional dan sejenisnya..
Protitusi terselubung dikalangan pelajar terkesan rapi
dan tidak diketahui oleh teman-teman kelasnya. Tapi bisa dibedakan antara
pelajar pelaku prostitusi dengan pelajar biasa dari penampilan serta gaya hidup
yang glamor.
Di Kota Tebingtinggi misalnya
sebanyak 30 persen pelajar setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMA) dan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) terlibat prostitusi terselubung.
Ciri ciri dari mereka yang terjebak
dalam Perdagangan Seks pada umumnya adalah :
Mereka (pelajar) awalnya tergoda dengan gaya dan
penampilan temannya tergolong hidup dalam kemampuan membeli semua barang
keperluan dengan mudah, itu yang membuat penarik temannya menjadi ikut masuk
jurang lembah prostitusi ini.
Ada beberapa ciri-ciri pelajar secara umum yang
sudah masuk kedalam jaringan prostitusi pelajar adalah penampilan mereka
menarik, wajah ber-make up dan menggunakan telephone seluler yang mahal.
Kebanyakan mereka dari kalangan keluarga pra sejahtera (kurang mampu), karena
tidak mendapat uang cukup untuk memenuhi kebutuhan dari orang tuanya. Mereka
lantas terjerat ke lembah hitam.
"Di sekolah, biasanya pelajar perempuan yang
masuk ke dalam jaringan prostitusi itu tidak masuk pada hari Sabtu dan ada juga
pada hari Senin-nya mereka juga tidak masuk sekolah. Itu dikarenakan anak ayam
diboking oleh om-om untuk waktu yang panjang," ungkapnya.
Bahkan dari mereka akan menipu keluarga serta orang
tuanya dengan alasan menginap di rumah teman untuk melakukan tugas sekolah. Ada
juga mereka setiap hari Sabtu membawa perlengkapan pakaian rumah untuk ganti
baju usai pulang sekolah.
"Awalnya sih, mereka pertama menolak, tetapi
setelah kita beri pengertian dan bujukan mereka akan mengikut dan menurut.
Apalagi kita memberi doktrin dengan kehidupan yang gelamor serta berkecukupan,
pasti mereka akan tertarik dan masuk kedalam prostitusi kalangan pelajar,"
ujar IR.
Mereka berpenampilan menarik, hidup gelamor,
pakaiannya trend terbaru, handphone terbaru serta bisa memenuhi kebutuhan
lainnya. " Tertarik aja om, awalnya coba-coba terakhir jadi
ketagihan," aku RS dengan polos kepada Sumut Pos malam itu.
Membuat sosialisai
disekolah-sekolah, asrama putri, kampus dan institusi pendidikan lainnya adalah
suatu bentuk dan upaya untuk dapat mensosialisasikan masalah perdagangan
manusia kepada mereka yang rentan untuk menjadi korban jaringan terselubung ini
dan bahaya penyakit Aids yang selalu mengintai generasi muda.
Hanya terkadang masih ada dijumpai beberapa institusi
sekolah, asrama dan lainnya yang hingga saat ini masih menganggap “remeh” hal
tersebut sehingga tidak bersedia untuk meluangkan waktunya untuk sosialisasi
tersebut. Bahkan ditengarai masih adanya perlakuan diskriminatif yang dilakukan
pihak sekolah terhadap korban human traficking yang menimpa siswanya.
"Diperbolehkan sekolah, tapi tidak dianggap
sekolah,"
Perlakuan diskriminasi tersebut terjadi di sekolah
menengah atas negeri (SMAN) di Surabaya Barat. Selain tidak dianggap sekolah di
SMAN tersebut, rapor anak tersebut tidak ada nilai alias nol, padahal selama
ini ikut ulangan maupun Ujian Akhir Semester (UAS).
Bahkan ada satu di antara temannya yang juga menjadi
korban kejahatan perdagangan manusia di Surabaya, tidak
diperbolehkan lagi masuk sekolah karena dianggap akan mencemarkan nama sekolah.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, sekolahan harus
menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi para siswa dalam proses belajar
mengajar. Maka tidak selayaknya apabila ada sekolahan yang justru
mendiskriditkan para siswi yang menjadi korban perdagangan manusia. Mereka
harusnya lebih disayangi, jangan malah dikucilkan.
Selain itu pihak sekolah lebih menyayangi bukan malah
membebani para korban human trafficking tersebut. Oleh sebab diharapkan dinas
spendidikan dan beberapa jajaran terkait supaya bekerja sama dalam memberikan
perlindungan jangan sampai pihak sekolah justru mengucilkanya.
Shinta, salah satu keluarga korban
human trafficking mengakui jika selama ini pihak sekolah kerap berlaku tidak
adil terhadap para siswa yang menjadi korban pedagangan manusia dan seks bebas.
Contoh konkritnya seperti yang menimpa keponakanya yang kini masih kelas 3 SMA
di salah satu sekolah negeri di Surabaya. Menurut Shinta, akibat kejadian
tersebut, keponakanya terpaksa tidak bisa mengikuti ujian akhir Sekolah (UAS)
akibat di skor selama satu bulan.
Bahkan ketika boleh masuk sekolah
pun, keponakanya tersebut hanya dikasih nilai kosong oleh pihak sekolah. Bohong
besar jika tidak ada perlakuan diskriminatif dari sekolahan, keponakan saya
contohnya ujarnya saat ditemui wartawan kemarin.
Disamping ketidak tahuan dan belum pahamnya terhadap
masalah ini, mereka juga menganggap bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi di
institusi mereka. Sangat Disayangkan.
"Kita minta kepada para orang tua untuk lebih
sering berkomunikasi dengan anaknya. Lihatlah anaknya, tanya apabila ada
perubahan dratis pada diri anak. Kepada Pemerintah setempat dan pihak
Kepolisian dan komunitas komunitas yang peduli dengan permasalahan perdagangan
perempuan dan anak untuk terus memberikan penyuluhan kepada para pelajar tanpa
dengan rasa bosan atas bahayanya perdagangan manusia diantara para remaja
khususnya para pelajar putri dan mahasiswi..”
000000000000
0 Response to "kemiskinan and trafiking"
Posting Komentar