kemiskinan and trafiking





        Kemiskinan menjadi permasalahan sosial. Pada masa pemerintahan Islam, persoalan kemiskinan juga mengemuka. Tak hanya pemerintahan yang bertanggung jawab menyele saikan masalah ini, baik melalui berbagai program maupun lembaga sosial, kaum cendekia juga meresponsnya dengan ide-ide pemecahan masalah kemiskinan.

     Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, misalnya, kedudukan lembaga sosial diperkuat. Dengan itu, kemiskinan berhasil ditekan sekaligus menghadirkan kesejahteraan di tengah masyarakat Muslim. Asas keadilan di bidang ekonomi benar-benar ditegakkan. Masalah ini tidak luput dari perhatian para sarjana ekonomi Muslim abad pertengahan.

     Kontribusi pemikiran mereka sangat berpengaruh. Diskusi dan kajian ilmiah mengenai kemiskinan dan bagaimana mengatasinya berlangsung intens. Para sarjana, ilmuwan, cendekiawan, dan juga ulama mengaitkan persoalan ini dengan aspek sosial, politik, budaya, hingga keagamaan.

Pada akhirnya, langkah itu membangkitkan motivasi serta kesadaran umat Islam terhadap tanggung jawab sosialnya. Abu Hamid al Ghazali (1058-1111), misalnya, memaparkan persoalan kemiskinan itu dalam bukunya yang berjudul al-Tabr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulk. Ia memetakan pula wilayah-wilayah miskin.

Ia menawarkan solusi kemiskinan dalam bukunya itu. Filsuf dan ilmuwan legendaris ini mengajukan teori distribusi pendapatan. Selain itu, al-Ghazali menekankan perlunya optimalisasi kesejahteraan sosial. Menurutnya, segala kebijakan ataupun program pembangunan harus diarahkan bagi tercapainya kemakmuran bersama.


Cendekiawan lainnya yang menghasilkan karya bertema sama adalah Ibnu Taghribirdi. Ia muncul dengan risalahnya al-Nujum al-Zahira fi Muluk Mishr wa ala Qahira dan al-Maqrizi dalam buku al-Mawa'iz wa al I'tibar fi Dzikr al-Khitat wa al-Athar. Menurut dia, kemiskinan merupakan fenomena sosial yang harus ditangani bersama.

Dari pandangan ilmuwan Barat, yaitu Mine Ener dan Michael Bonner, tradisi berbagi telah dipraktikkan sejak awal Islam. "Namun, semakin menemukan pijakan dan lebih terlembaga pada era kejayaan," papar keduanya dalam buku Poverty and Charity in Middle Eastern Context.

Ener dan Bonner menambahkan, umat Islam melakukan berbagai terobosan dan membuat pengembangan program pengentasan kemiskinan makin variatif. Badan zakat, amal, atau takaful bermunculan bak jamur pada musim hujan di wilayah-wilayah Islam. Dana yang terkumpul dari masyarakat kemudian digunakan untuk kepentingan sosial keagamaan. Salah satunya adalah membangun berbagai sarana, seperti rumah sakit, pendidikan, panti asuhan, masjid, rumah penampungan, dan lainnya. Semua fasilitas itu ditujukan untuk memberikan pelayanan sebaikbaiknya kepada masyarakat tidak berpunya. Lembaga filantropis dan wakaf juga berkembang pesat. Ini telah diawali sejak Dinasti Umayyah.

Tamim Ansyari menceritakan melalui bukunya, Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam, lembaga wakaf yang difasilitasi negara secara aktif menyalurkan bantuan kepada orang-orang miskin. "Badan wakaf bisa dikatakan sebagai perusahaan nirlaba versi Muslim yang didirikan untuk tujuan amal," katanya.
Ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa, umat Islam mencapai peradaban gemi lang. Perdagangan, pertanian, hingga ilmu pengetahuan tumbuh pesat. Kondisi itu mendorong terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran. Namun, ada kenyataan pula bahwa masih terdapat warga yang hidup dalam kondisi serbasulit.
Khalifah Abbasiyah keempat, Harun alRasyid, dikenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian sosial tinggi. Sifat kedermawanan nya telah melegenda. Dengan menyamarkan diri sebagai pengemis atau rakyat jelata, Harun al Rasyid berjalan di pasar-pasar atau perkampungan untuk mendengar langsung masalah rakyatnya.

Setelah itu, ia mengambil kebijakan untuk membantu mereka. Di sisi lain, peran pemerintah sangat dibutuhkan agar pengentasan kemiskinan efektif. Ini pun berlangsung selama periode pemerintahan Dinasti Mamluk (1250-1517).
Adam Sabra mengisahkannya dalam buku Poverty and Charity in Medieval Islam: Mamluk Egypt. Sabra menuturkan, karena dilengkapi dengan perangkat-perangkat kekuasaan, program tersebut berjalan di seluruh negeri. Saat itu, pegawai pemerintah tak hanya bertugas mengumpulkan pajak, tetapi juga zakat, wakaf, dan amal serta mendistribusikannya.

Mereka menggandeng lembaga amil ataupun para tokoh agama dan masyarakat lokal. Dengan jalinan kerja sama seperti itu, penyaluran bantuan bagi rakyat miskin menjadi lebih tepat sasaran. Sabra menggambarkan pemerintahan Mamluk terlibat langsung untuk membantu kaum miskin.

Para pengemis dan tunawisma dilindungi di panti-panti sosial yang biasa disebut mawdi al hukm. Mereka tak lagi terlunta-lunta di jalanan Kairo. Sedangkan, mereka yang mengalami kesulitan membayar utang-utangnya diberi bantuan melunasinya. Peran negara dalam pengentasan kemiskinan juga diungkapkan oleh Mine Ener.

Melalui buku berjudul Religious Prerogatives and Policy of the Poor, Mine Ener mengatakan, pemerintahan Islam meneruskan inisiatif pengembangan proyek-proyek pengentasan kemiskinan serta pembinaan dan pemberdayaan rakyat. Sebagian hasil pajak diarahkan untuk bidang sosial, termasuk membuka dapur-dapur umum.

Keberadaan sarana ini amat dibutuhkan kaum miskin saat mereka mengalami gagal panen atau stok bahan makanan menipis. Adam Sabra mencatat, kondisi tersebut pernah terjadi antara abad ke-13 dan ke-16. Negara secara aktif turun tangan mengatur distribusi bahan makanan dan juga mengendalikan harga. Langkah tersebut efektif untuk melindungi warga miskin dari bahaya kelaparan



















PERDAGANGAN (TRAFFICKING) ANAK DAN PEREMPUAN

Pendahuluan
Setiap hari, jutaan anak dan perempuan di seluruh dunia rentan berhadapan dengan bahaya. Setiap hari, jutaan anak dan perempuan menderita akibat kemiskinan dan krisis ekonomi. Beratus juta anak dan perempuan menderita dan mati karena perang, kekerasan, eksploitasi, ditelantarkan serta berbagai bentuk penganiayaan dan diskriminasi. Di seluruh dunia, anak dan perempuan hidup dalam keadaan yang teramat sulit, menjadi cacat permanen atau cedera parah oleh konflik bersenjata, mereka juga terusir di dalam negeri atau terusir dari negerinya sebagai pengungsi, menderita akibat bencana alam dan bencana buatan manusia, termasuk bahaya terkena radiasi dan bahan kimia berbahaya. Perdagangan, penyelundupan, eksploitasi fisik dan seksual dan juga penculikan, eksploitasi ekonomis, bahkan dalam bentuk yang buruk sekalipun, merupakan kenyataan sehari-hari bagi anak dan perempuan, sedangkan kekerasan domestik dan kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan merupakan masalah serius. Puluhan ribu anak dan perempuan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun, berkeliaran siang dan malam sebagai komoditas seks, baik ke pasar seks domestik maupun manca negara. Lembaga internasional meramalkan, Indonesia akan segera menjadi tujuan para pelancong seks dari luar negeri.
Trafficking (Perdagangan) Anak dan Perempuan
Pengertian
Krisis moneter berkepanjangan dan lesunya perekonomian menyebabkan banyak keluarga kehilangan sumber pendapatannnya dalam kondisi ini, pelacuran dianggap memberi kesempatan yang lebih baik kepada anak dan perempuan mendapatkan uang. Banyak anak dan perempuan dari desa yang mau meninggalkan kampung halamannya karena tergiur oleh janji-janji yang diberikan oleh para trafficker (orang yang memperdagangkan) untuk bekerja di kota dengan gaji yang besar, tetapi sesampainya di kota, diperdaya atau dipaksa untuk menjadi pekerja seks.
Trafficking adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap anak, yang menyangkut kekerasan fisik, mental dan atau seksual. Trafficking merupakan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun memberi atau menerima bayaran atau manfaat, untuk tujuan eksploitasi seksual, perbudakan atau praktik-praktik lain, pengambilan organ tubuh.

Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa proses trafficking adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan (penyekapan), penerimaan. Trafficking dilakukan dengan cara: ancaman, kekerasan, paksaan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan wewenang. Tujuan dilakukan trafficking adalah untuk: transplantasi organ tubuh, penyalahgunaan obat, perdagangan anak lintas batas, pornografi, seksual komersil, perbudakan/penghambaan dan lain-lain. Secara umum, faktor-faktor yang mendorong terjadinya trafficking anak adalah kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, konflik sosial, lemahnya penegakan hukum, rendahnya pendidikan dan kesehatan, kekerasan dalam rumah tangga, desakan ekonomi.
Perdagangan orang (trafficking in person) dapat diartikan sebagai rekruitmen, transportasi, pemindahan, penyembunyiaan atau penerimaan seseorang, dengan anacaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga mmemperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuik eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik yang menyrupainya, adopsi illegal atau pengambilan organ-organ tubuh. Perdagangan orang (trafficking in persons) merupakan kejahatan yang keji terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan lainnya. Anak dan perempuan adalah yang paling banyak menjadi korban perdagangan orang (trafficking in persons), menempatkan mereka pada posisi yang sangat berisiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental spritual, dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS. Kondisi anak dan perempuan yang seperti itu akan mengancam kualitas ibu bangsa dan generasi penerus bangsa Indonesia.
Kelompok rentan perdagangan (trafficking) untuk menjadi korban adalah orang-orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam kondisi rentan, seperti laki-laki, perempuan dan anak-anak dari keluarga miskin yang berasal dari pedesaan atau daerah kumuh perkotaan; mereka yang berpendidikan dan berpengetahuan terbatas; yang terlibat masalah ekonomi, politik dan sosial yang serius; anggota keluarga yang mengalami krisis ekonomi seperti hilangnya pendapatan suai/orangtua, suai/orang tua sakit keras, atau meninggal dunia; putus sekolah; korban kekerasan fisik, psikis, seksual; para pencari kerja (termasuk buruh migran); perempuan dan anak jalanan; korban penculikan; janda cerai akibat pernikahan dini; mereka yang mendapat tekanan dari orang tua atau lingkungannya untuk bekerja; bahkan pekerja seks yang menganggap bahwa bekerja di luar negeri menjanjikan pendapatan lebih.
Pelaku
Pelaku dalam perdagangan (trafficking) anak dan perempuan dapat dibedakan dalam 3 (tiga) unsur. Pembedaan dilakukan berdasarkan peranannya masing-masing dalam tindakan perdagangan (trafficking):
1.    Pihak yang berperan pada awal perdagangan;
2.    Pihak yang menyediakan atau menjual orang yang diperdagangkan;
3.    Pihak yang berperan pada akhir rantai perdagangan sebagai penerima/pembeli orang yang diperdagangkan atau sebagai pihak yang menahan korban untuk dipekerjakan secara paksa dan yang mendapatkan keuntungan dari kerja itu.








Modus Operandi Modus operandi sindikat perdagangan perempuan dilakukan dengan bererapa cara, yaitu:
1.    Dengan ancaman dan pemaksaan, biasanya dilakukan oleh trafficker yang telah dikenal dekat dengan pelaku. Dalam hal tersebut pelaku menggunakan kedekatannya dan kedudukannya yang lebih superioritas dibanding korban, sehingga membuat korban berada dalam tekanan dan kedudukan tersubordinasi. Hal tersebut membuat korban tidak dapat menolak keinginan pelaku.
2.    Penculikan; biasanya korban diculik secara paksa atau melalui hipnotis melalui anggota sindikat. Tak jarang juga korban diperkosa terlebih dahulu oleh anggota sindikat sehingga menjadi semakin tidak berdaya.
3.    Penipuan, kecurangan atau kebohongan; Modus tersebut merupakan modus yang paling sering dilakukan oleh sindikat trafficking. Korban ditipu oleh anggota sindikat yang biasanya mengaku sebagai pencari tenaga kerja dengan menjanjikan gaji dan fasilitas yang menyenangkan sehingga korban tertarik untuk mengikuti tanpa mengetahui kondisi kerja yang akan dijalaninya.
4.    Penyalahgunaan Kekuasaan; Dalam perdagangan perempuan banyak aparat yang menyelahgunakan kekuasaannnya untuk membecking sindikat perdagangan perempuan. Pemalsuan identitas kerap kali dilakukan oleh aparat pemerintah yang berhubungan langsung dengan pengurusan data diri. Seperti pemalsuan KTP dan akta kelahiran. Di bagian imigrasi juga sering terjadi kolusi antara pelaku dengan pegawai imigrasi sehingga perdagangan perempuan yang ditujukan ke luar negeri dapat melewati batas negara dengan aman.
Modus operandi rekrutmen terhadap kelompok rentan biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari, menculik, menyekap atau memerkosa. Modus lain berkedok mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. Ibu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan hutang supaya anaknya boleh diadopsin agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan memberikan barang-barang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.
Pengaturan dalam KUHP
Perangkat hukum nasional di Indonesia masih tidak memadai untuk menghadapi suatu persoalan yang sebesar dan penuh kompleksitas sebagaimana masalah perdagangan anak dan perempuan. Sampai saat ini kasus-kasus perdagangan perempuan ditangani dalam 3 pasal, yaitu: Pasal 296 KUHP menentukan bahwa barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain di hukum penjara selama-lamanya 1 tahun 4 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000; Pasal 297 KUHP menentukan bahwa memperniagakan laki-laki yang belum dewasa dihukum selama-lamanya 6 tahun”; Pasal 298 KUHP menentukan bahwa pada waktu menjatuhkan hukuman karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 281, 284 -290 dan 292-297, maka dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak-hat tertentu. Kalau si tersalah melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 292-297 dalam melakukan pekerjaannya, dapat ia dipecat dari pekerjaannya itu.
Namun ketiga Pasal tersebut diatas cenderung tidak mampu menjerat para pelaku perdagangan perempuan dalam segenap keanekaragaman bentuknya, karena Pasal-pasal ini hanya mencakup perdagangan perempuan untuk tujuan eksploitasi perempuan dan penjabaran unsur-unsur tentang perdagangan perempuan itupun penuh dengan kerancuan. Kesulitan lain berkaitan dengan pengkategorisasian perdagangan perempuan sebagai ”Kejahatan terhadap kesusilaan” dalam KUHP, hal ini sangat semput hika dibandingkan dengan keluasan dan kompleksitas persoalan bagaimana terungkap pada defenisi internasional tentang perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak dan kasus-kasus perdagangan manusia di Indonesia.
Penutup
Perlindungan terhadap anak dan perempuan dari trafficking (perdagangan) masih belum dilakukan secara maksimal. Perangkat perundang-undangan yang mengatur perlindungan hak-hak anak ini juga masih sangat minim, dan walaupun telah ada beberapa undang-undang yang mengatur perlindungan hak-hak anak ini, masih kurang tersosialisasi secara baik. Keseriusan aparat penegak hukum untuk menganggulangi, masih sangat lambat dan putusan yang dihasilkan masih tidak memenuhi rasa keadilan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan dari tindakan trafficking (perdagangan) antara lain adalah hendaknya aparat Kepolisian, Penuntut Umum, dan Hakim Pengadilan, konsisten dalam menangani kasus trafficking (perdagangan) anak dan perempuan, dengan memberikan prioritas penangan dan menghukum terdakwa dengan hukuman yang setimpal sesuai dengan perbuatannya.
Sumber: Dr. Maidin Gultom, SH, M.Hum

00000000000

Sosialisasi Anti Perdagangan Manusia

Warga Indonesia masih terlalu sering menjadi korban perdagangan manusia. Kebanyakan korban berpendidikan rendah, yaitu tamatan SD atau bahkan sama sekali tidak tamat. Karena itulah mereka sangat rentan menjadi korban perdagangan manusia.


Isu perdagangan manusia atau trafficking khususnya perempuan dan anak beberapa bulan terakhir cukup mendapat soroton di berbagai media massa. Media massa tidak hanya sekedar menyoroti kasus-kasus tersebut saja akan tetapi juga lika- liku tindakan penyelamatan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap korban serta bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Di jelaskan dalam UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, bahwa yang disebut trafficking atau perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Untuk memudahkan, berikut adalah gambaran sederhana bagaimana seseorang dikatakan sebagai pelaku kejahatan Tindak Pidana perdagangan orang dengan 3 (tiga) unsur utama sebagai berikut
Proses: Pertama, biasanya pelaku memindahkan korban jauh dari komunitasnya dengan merekrut, mengangkut, mengirim, memindahkan atau menerima mereka;
Cara: Lalu pelaku menggunakan ancaman, kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan / posisi rentan, atau jeratan hutang untuk mendapat kendali atas diri korban sehingga dapat memaksa mereka;
Tujuan: Pada akhirnya, pelaku mengeksploitasi atau menyebabkan korban tereksploitasi untuk keuntungan financial pelaku kejahatan . Eksploitasi di sini bisa berupa perlakukan apapun yang tidak sesuai dengan kehendak korban dan korban menderita karena perlakuan tersebut seperti bekerja sebagai pelacur, kerja paksa/perbudakan, atau bekerja serupa perbudakan, termasuk juga pengambilan organ tubuh.
Dalam hal korban berusia 18 tahun atau lebih, suatu kasus harus memiliki salah satu unsur  yang terdapat pada setiap kolom agar suatu tindak pidana dapat disebut  sebagai perdagangan orang menurut hukum di Indonesia.
Namun jika korbannya berusia kurang dari 18 tahun, suatu kasus sudah dapat disebut sebagai perdagangan orang jika sudah memenuhi salah satu unsur yang terdapat pada item pertama (proses) dan item ketiga (tujuan). Adapun unsur-unsur di dalam item kedua (cara) tidak diperlukan.  Hal lain yang harus menjadi perhatian kita, khususnya para penegak hukum adalah bahwa persetujuan korban, sekalipun korbannya adalah orang dewasa, tidak menjadi unsur yang meringankan dari tuntutan hukuman apalagi pelakunya sampai dibebaskan dari tuntutan hukuman.
Human Trafficking merupakan industri kedua didunia yang mengalami perkembangan yang demikian pesat dan juga merupakan industri ilegal ketiga yang menghasilkan keuntungan yang paling besar.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9fPyReubhs5deEZnyvL8nbsz4dyHKxglMa7NRM5QNNvW_WbG9ezcXsIgN-uUx3b0isp4yknZjq3Y13MRDBwtAoL-Ofj-PgsopwkRHbhPVm_Mlqfo2vzn-HPfwTLAV0XjtH3CXBVLd3U4/s200/TRAF_21.jpg
Ilustrasi
Trafficking disebabkan oleh beberapa hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda antara lain : rendahnya tingkat pendidikan, status sosial, kemiskinan (misalnya orang tua memiliki hutang dan harus membayar dengan tenaganya tanpa memberi upah), kurangnya wawasan, kurang memahami ajaran agama, dll.
Ada berbagai bentuk perdagangan manusia yang terjadi pada perempuan dan anak-anak 
Sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan manusia pada umumnya adalah perempuan , selain mereka antara lain:
1.   Anak-anak jalanan
2.   Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai pengetahuan informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan dipilih
3.   Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi pengungsi
4.   Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan
5.   Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan antar negara
6.   Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang
7.   Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, korban pemerkosaan
8.   Pelaku biasanya memberikan janji janji yang menggiurkan sehingga korban mudah terpancing dengan janji tersebut.
1.   Trafficking adalah sebuah bentuk perbudakan
2.   Trafficking adalah kejahatan yang dilakukan di seluruh dunia termasuk Indonesia
3.   Dari kasus-kasus yang di Indonesia diketahui bahwa ribuan hingga jutaan orang indonesia rentan terhadap trafficking
4.   Pelaku trafficking menjadikan orang ingin bermigrasi baik di daerah lain di Indonesia maupun ke luar negeri sebagai mangsa mereka
5.   Hukum kurang efektif mendefinisikan traficking, untuk membuat jera pelaku ataupun untuk melindungi korban.
PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK
Dengan semakin kompleksnya   masalah  perdagangan   manusia khususnya perdagangan perempuan dan anak,  maka  kiranya diperlukan  sebuah  upaya menggalang kerja sama melalui kemitraan yang menjadi satu-satunya cara yang harus dikembangkan di masa datang supaya penanganan masalah ini menjadi lebih efektif. Mengatasi permasalahan perdagangan anak tidak hanya melibatkan satu lembaga, akan tetapi harus melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada di masyarakat, yaitu instansi-instansi pemerintah, LSM, organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam sebuah kemitraan yang diperkuat oleh peraturan  pemerintah,  paling  tidak keputusan  menteri untuk  bersama-sama  menangani  masalah perdagangan anak.

Memang benar bahwa orang tua dapat meminimalisir dampak buruk dari berbagai media informasi dengan memberikan pemahaman kepada anak-anaknya, namun tanpa regulasi dari negara yang jelas terhadap media tersebut, pada akhirnya hal ini hanya akan memindahkan beban kepada para orang tua, sementara media itu sendiri nampaknya tidak peduli akan dampak buruk yang ditimbulkannya.
Perempuan termasuk remaja putri adalah target utama dunia advertorial. Akibatnya, media tidak menampilkan kebutuhan kaum perempuan, namun justru kebutuhan para pengiklan.
Di tengah maraknya kasus ekspolitasi seksual, pedofilia, kasus kekerasan dan perdagangan perempuan dan anak (trafficking), ditambah lagi dengan pendidikan seks yang kurang memadai, media seharusnya memberikan pendidikan agar remaja perempuan semakin mengenal hak-haknya.
Hak-hak remaja putri yang seharusnya dipahami oleh media antara lain adalah mendapatkan informasi yang benar, hak untuk meningkatkan rasa kepercayaan diri, bebas dari diskriminasi, terlindung dari pelecehan, kekerasan dan eksploitasi seksual, mendapatkan pendidikan yang layak, hak untuk mengakses dan mendapatkan informasi yang seluas-luasnya tentang kesehatan reproduksinya serta bebas dari ancaman praktek perdagangan manusia, pornografi, narkoba, dan sebagainya.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menduga pelaku perdagangan orang mulai menggunakan media sosial sebagai modus baru dalam menjaring korban. Para pelaku juga semakin canggih dan mempunyai jaringan yang kuat.
"Saat ini para pelaku perdagangan orang mencari korban melalui media sosial seperti facebook, twitter dan lain sebagainya," kata Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sri Danti usai acara koordinasipelaksanaan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Jakarta

Dia menambahkan, pelaku semakin canggih dan jaringannya terus menguat. Menurut data Bareskrim Mabes Polri, dari tahun 2009 sampai 2011 telah terjadi 373 kasus perdagangan orang dengan korban 440 orang dewasa dan 192 orang anak, serta penangkapan terhadap 450 orang pelaku.

Masyarakat sendiri juga lupa bahwa mereka harus turut melindungi kepentingan dan hak-hak remaja perempuan dari derasnya pesan media yang masuk.Orangtua diminta mengawasi anak-anaknya yang kecanduan Facebook (FB), Twitter, Blackberry Messenger (BBM), SMS, dll.
Beberapa hal yang bisa diterapkan antara lain dengan membatasi jam menonton televisi, memonitor media apa saja yang dikonsumsi, mulai dari majalah, video, dan internet. Memberikan penjelasan yang mereka butuhkan, menanyakan perasaan mereka setelah menyaksikan atau membaca, membantu mereka agar mampu membedakan antara yang fiktif dan yang riil hingga mereka pun paham bahwa dalam dunia nyata, setiap kekerasan, pelecehan seksual, perdagangan manusia, dan sebagainya ada konsekuensinya, yakni hukum.


Apakah landasan hukum dapat menjadi solusi permasalahan anak? 
Ternyata penegak hukum lebih kerap memakai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memiliki beberapa kelemahan. Untuk itu perlu mengamandemen peraturan perundangan yang bertentangan dengan hak anak disertai peraturan dan hukum yang terkait antarnegara. 
Kedua, memberi pemerataan akses pelayanan pendidikan, kesehatan, hukum, dan transportasi kepada seluruh anak Indonesia. 
Ketiga, orangtua dan masyarakat juga harus mendapat pengetahuan dan pemahaman tentang HAM. Pencegahan dan intervensi dini di tingkat keluarga dan komunitas dapat mengurangi risiko remaja menjadi korban perdagangan dan eksploitasi seks. 
Keempat, otonomi daerah hendaknya mampu mendorong pemerintah daerah membuka kesempatan kerja, terutama di pedesaan, dalam upaya memperbaiki ekonomi keluarga.
Kelima, diperlukan koordinasi dan membangun sistem jaringan antara pemerintah pusat-daerah, swasta, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat, baik lokal, bilateral, maupun multilateral, terutama pengawasan terhadap agen yang merekrut tenaga kerja. 
Terakhir, perguruan tinggi sebagai pusat advokasi, sosialisasi, dan rujukan tentang perlindungan dan kesejahteraan perempuan dan anak perlu lebih berperan dalam meredefinisi dan merekonstruksi pandangan menghakimi pada korban eksploitasi seksual pada anak. 

Sosialisasi di Kalangan Remaja
Masa remaja yang rentan dengan usaha coba-coba seringkali menimbulkan dampak massif yang tidak kita inginkan bersama. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) dalam rentang bulan Januari dan Februari, melalui Layanan Perlindungan Anak mengakui bahwa setidaknya terdapat 36 pengaduan remaja putri tingkatan sekolah menengah pertama atas ‘hilang’ nya mereka sementara waktu akibat dibawa oleh teman facebook-nya. Kebanyakan diantara mereka mengalami pelecehan seksual. Kejahatan seksual yang terorganisir dengan apik ini masih sangat meresahkan hingga kini.
Remaja, khususnya perempuan dengan perilaku seks menyimpang, rentan menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking). Penyimpangan tersebut biasanya dimanfaatkan pelaku trafficking untuk mendekati korbannya.

‘Jangan menceritakan segalanya. Berfikirlah sebelum menulis di Facebook….’
David Gewirtz.

Modus operandi perdagangan manusia (human trafficking) kini semakin beragam. Trafficking berkedok pencarian duta seni dan budaya untuk dikirimkan ke sejumlah negara dengan sasaran siswa lulusan SMP dan SMA pun muncul dan mulai meresahkan masyarakat.

“ Para pelaku kejahatan perdagangan manusia (trafficking) mulai mengincar mahasiswi dan pelajar putri sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan….” Demikian hal itu diungkapkan Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Netty Heryawan kepada wartawan, usai rapat koordinasi terkait penanganan anak jalanan, di Dinas Sosial Jabar

Gaya hidup konsumtif yang kini banyak dijalani kaum terdidik seperti halnya mahasiswi dan pelajar putri, menjadi salah satu celah yang dimanfaatkan pelaku kejahatan trafficking. Kebutuhan untuk memenuhi gaya hidup yang konsumtif membuat kaum terdidik tidak lagi berpikir analitis ketika ditawari pekerjaan dengan penghasilan yang besar. Padahal pekerjaan yang ditawarkan itu mengarah pada kegiatan jual beli manusia.
"Saat ini sudah terjadi pergeseran nilai, di mana trafficking tidak lagi terjadi karena desakan motif ekonomi lemah, tapi juga karena kebutuhan untuk memenuhi gaya hidupnya yang konsumtif. Sehingga, saat ini tidak sedikit mahasiswi dan pelajar yang menjadi korban trafficking," papar Netty.
Disebutkannya, sebagian besar korban trafficking berusia antara 14 hingga 20 tahun. Bahkan pernah ada korban yang masih berusia 12 tahun.
"Selain mengincar korban di kawasan pendidikan, para pelaku juga banyak memperoleh korban dari pemukiman padat penduduk dan daerah pinggiran seperti Garut dan Sukabumi," katanya
Dari tahun ke tahun kejahatan trafficking menunjukkan peningkatan. Hal itu terlihat wajar karena secara ekonomi trafficking memang sangat menguntungkan. Bisnis perdagangan manusia komoditasnya tidak pernah habis, ditambah regulasi hukum yang tidak mampu memberikan efek jera membuat trafficking terus ada. Padahal UU No. 21/2007 telah menyebutkan bahwa dengan jelas pelaku trafficking seharusnya dipailitkan atau dibuat miskin.
"Hingga awal 2012, sedikitnya kami telah menangani 233 kasus trafficking yang berhasil diungkap. Setelah berhasil diselamatkan, korban diberikan keterampilan dan konseling hukum. Karena tidak sedikit korban trafficking yang sadar jika dirinya menjadi korban kejahatan," katanya. 
Hal tersulit dalam penangangan korban trafficking adalah bagaimana caranya menjaga agar korban tidak terjerumus kembali. Berdasarkan pengalaman, tidak sedikit korban trafficking yang kembali terjerumus karena alasan ekonomi.
"Mereka yang kembali umumnya terimpit kondisi ekonomi. Rata-rata korban trafficking sudah pernah menikah dan memiliki anak, serta hidup pada kelas prasejahtera dan sejahtera. Mencari uang untuk menghidupi anak dijadikan alasannya," tegas Netty.
Banyak siswa perempuan terlibat jaringan terlarang
Sasaran perdagangan manusia kini semakin bergeser membidik usia remaja lulusan SMP/SMA, kerjasama dan koordinasai antar elemen masyarakat khususnya masyarakat pendidikan ( Dinas pendidikan dan sekolah ) untuk melakukan upaya pencegahan adalah salah satu cara dan upaya untuk “membentengi “ para pelajar dari bahaya ini, misalnya dengan dengan memberikan pelatihan dan pendampingan bagi guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah atau juga kepada para lulusan.

"Setiap yang kita jemput, yang usianya di bawah umur selalu ada, ya ada 2 orang dari 10-13 orang yang kita jemput. Kadang mereka dijual oleh kakaknya. Kakaknya bekerja di sana, adiknya tergiur sehingga ikut. Jadi memang banyak faktor yang menjadi penentu, bisa faktor ekonomi, pendidikan, peran orang tua, pergeseran nilai, arus informasi yang begitu deras, serta dampak urbanisasi,"

"Di sebuah lokalisasi di Bangka Belitung misalnya, dari 200 pekerja yang ada di sana, 75 persennya adalah orang Jawa Barat. Tadinya kita menganggap Indramayu atau Cirebon sebagai daerah asal terbanyak, tapi ternyata sekarang menyebar. Bahkan Bandung Raya, seperti KBB, Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan juga Cimahi sama. Umurnya berkisar 20-30an, selain juga yang dibawah umur,"

Bentuk-bentuk trafficking memang semakin berkembang dan menggiurkan. Termasuk diantaranya melalui lowongan pekerjaan untuk menjadi penari tradisional dan sejenisnya..
Protitusi terselubung dikalangan pelajar terkesan rapi dan tidak diketahui oleh teman-teman kelasnya. Tapi bisa dibedakan antara pelajar pelaku prostitusi dengan pelajar biasa dari penampilan serta gaya hidup yang glamor.
Di Kota Tebingtinggi misalnya sebanyak 30 persen pelajar setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terlibat prostitusi terselubung.



          Ciri ciri dari mereka yang terjebak dalam Perdagangan Seks pada umumnya adalah :
Mereka (pelajar) awalnya tergoda dengan gaya dan penampilan temannya tergolong hidup dalam kemampuan membeli semua barang keperluan dengan mudah, itu yang membuat penarik temannya menjadi ikut masuk jurang lembah prostitusi ini.
Ada beberapa  ciri-ciri pelajar secara umum yang sudah masuk kedalam jaringan prostitusi pelajar adalah penampilan mereka menarik, wajah ber-make up dan menggunakan telephone seluler yang mahal. Kebanyakan mereka dari kalangan keluarga pra sejahtera (kurang mampu), karena tidak mendapat uang cukup untuk memenuhi kebutuhan dari orang tuanya. Mereka lantas terjerat ke lembah hitam.
"Di sekolah, biasanya pelajar perempuan yang masuk ke dalam jaringan prostitusi itu tidak masuk pada hari Sabtu dan ada juga pada hari Senin-nya mereka juga tidak masuk sekolah. Itu dikarenakan anak ayam diboking oleh om-om untuk waktu yang panjang," ungkapnya.
Bahkan dari mereka akan menipu keluarga serta orang tuanya dengan alasan menginap di rumah teman untuk melakukan tugas sekolah. Ada juga mereka setiap hari Sabtu membawa perlengkapan pakaian rumah untuk ganti baju usai pulang sekolah.


"Awalnya sih, mereka pertama menolak, tetapi setelah kita beri pengertian dan bujukan mereka akan mengikut dan menurut. Apalagi kita memberi doktrin dengan kehidupan yang gelamor serta berkecukupan, pasti mereka akan tertarik dan masuk kedalam prostitusi kalangan pelajar," ujar IR.
Mereka berpenampilan menarik, hidup gelamor, pakaiannya trend terbaru, handphone terbaru serta bisa memenuhi kebutuhan lainnya. " Tertarik aja om, awalnya coba-coba terakhir jadi ketagihan," aku RS dengan polos kepada Sumut Pos malam itu.



Membuat sosialisai disekolah-sekolah, asrama putri, kampus dan institusi pendidikan lainnya adalah suatu bentuk dan upaya untuk dapat mensosialisasikan masalah perdagangan manusia kepada mereka yang rentan untuk menjadi korban jaringan terselubung ini dan bahaya penyakit Aids yang selalu mengintai generasi muda.
Hanya terkadang masih ada dijumpai beberapa institusi sekolah, asrama dan lainnya yang hingga saat ini masih menganggap “remeh” hal tersebut sehingga tidak bersedia untuk meluangkan waktunya untuk sosialisasi tersebut. Bahkan ditengarai masih adanya perlakuan diskriminatif yang dilakukan pihak sekolah terhadap korban human traficking yang menimpa siswanya.
"Diperbolehkan sekolah, tapi tidak dianggap sekolah,"
Perlakuan diskriminasi tersebut terjadi di sekolah menengah atas negeri (SMAN) di Surabaya Barat. Selain tidak dianggap sekolah di SMAN tersebut, rapor anak tersebut tidak ada nilai alias nol, padahal selama ini ikut ulangan maupun Ujian Akhir Semester (UAS).
Bahkan ada satu di antara temannya yang juga menjadi korban kejahatan perdagangan manusia di Surabaya, tidak diperbolehkan lagi masuk sekolah karena dianggap akan mencemarkan nama sekolah.



Sebagai sebuah lembaga pendidikan, sekolahan harus menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi para siswa dalam proses belajar mengajar. Maka tidak selayaknya apabila ada sekolahan yang justru mendiskriditkan para siswi yang menjadi korban perdagangan manusia. Mereka harusnya lebih disayangi, jangan malah dikucilkan.
Selain itu pihak sekolah lebih menyayangi bukan malah membebani para korban human trafficking tersebut. Oleh sebab diharapkan dinas spendidikan dan beberapa jajaran terkait supaya bekerja sama dalam memberikan perlindungan jangan sampai pihak sekolah justru mengucilkanya.
Shinta, salah satu keluarga korban human trafficking mengakui jika selama ini pihak sekolah kerap berlaku tidak adil terhadap para siswa yang menjadi korban pedagangan manusia dan seks bebas. Contoh konkritnya seperti yang menimpa keponakanya yang kini masih kelas 3 SMA di salah satu sekolah negeri di Surabaya. Menurut Shinta, akibat kejadian tersebut, keponakanya terpaksa tidak bisa mengikuti ujian akhir Sekolah (UAS) akibat di skor selama satu bulan.
Bahkan ketika boleh masuk sekolah pun, keponakanya tersebut hanya dikasih nilai kosong oleh pihak sekolah. Bohong besar jika tidak ada perlakuan diskriminatif dari sekolahan, keponakan saya contohnya ujarnya saat ditemui wartawan kemarin.

Disamping ketidak tahuan dan belum pahamnya terhadap masalah ini, mereka juga menganggap bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi di institusi mereka. Sangat Disayangkan.
"Kita minta kepada para orang tua untuk lebih sering berkomunikasi dengan anaknya. Lihatlah anaknya, tanya apabila ada perubahan dratis pada diri anak. Kepada Pemerintah setempat dan pihak Kepolisian dan komunitas komunitas yang peduli dengan permasalahan perdagangan perempuan dan anak untuk terus memberikan penyuluhan kepada para pelajar tanpa dengan rasa bosan atas bahayanya perdagangan manusia diantara para remaja khususnya para pelajar putri dan mahasiswi..”

000000000000

0 Response to "kemiskinan and trafiking"

Posting Komentar